Doedoeng, nama yang sarat makna. Ibunya
pernah menjelaskan latar belakang pemberian namanya…
“Kamu dinamai Dudung karena pada saat
Mamah mengandung kamu ada Ajengan yang terkenal saat itu yang bernama Ajengan
Dudung,” kata Ibunya lugas, “nama itu adalah sebuah harapan dan doa agar kamu
setelah dewasa kelak menjadi Ajengan.”
Dalam khazanah masyarakat Priyangan dan Sunda pada umumnya, nama
Ajengan diberikan untuk figur ulama yang memiliki kedudukan lebih tinggi
dibandingkan Kiai.
Doedoeng lahir di sebuah kota kecil,
kecamatan Panumbangan yang masih dalam wilayah kewedanaan Panjalu Kabupaten
Ciamis. Ayahnya seorang pegawai Perum Perhutani, namanya Amat Nakmat. Tidak ada
yang special dari Ayahnya ini. Hanya…. belakangan, 26 tahun kemudian saat akan
menjadi pegawai di Behaestex, Doedoeng baru tahu bahwa Ayahnya ini ternyata
seorang keturunan bangsawan Panjalu dari trah Candrawijaya. Tapi beliau tidak
pernah mempersoalkan hal tersebut, karena semua manusia sama di hadapan Allah
swt, kecuali ketaqwaannya.
Ibunya bernama Laeli Kamaliah, nama
yang indah, artinya malam kemuliaan. Ibunya dilahirkan pada tanggal 17 Ramadhan
yang dipercaya sebagai tanggal turunnya wahyu pertama kepada Nabi Muhammad SAW.
Ibunya memang berasal dari keluarga ulama. Ayah dan kakek dari Ibunya adalah
seorang ulama yang cukup terkenal di Kecamatan Panumbangan, bahkan menjadi ulama yang sering diundang dalam pertemuan
para ulama di Kabupaten Ciamis.
Masa kecilnya dihabiskan di tanah
kelahiran Panumbangan. Bersekolah cukup lengkap, mulai dari TK, MI (Madrasah
Ibtidaiyah) yang setingkat dengan SD, sampai SMP semuanya di Panumbangan. Masuk SMA, hijrah ke Kota
Tasikmalaya, karena saat itu di Kecamatan Panumbangan dan sekitarnya belum ada
SMA. Walaupun termasuk wilayah kabupaten Ciamis, namun SMA di Ciamis lokasinya
lebih jauh dari SMA 2 Tasikmalaya.
Di SMA, mengambil jurusan Fisika. Sejak
MI, SMP, sampai SMA, nilai raport selalu baik, bahkan hampir selalu juara
kelas. Prestasi inilah yang membuatnya mendapatkan kesempatan untuk lulus ITB pada
tahun 1987 tanpa ujian, yang saat itu dikenal dengan istilah PMDK (Penelusuran
Minat, dan Kemampuan).
Pada masa kuliah, Doedoeng berkenalan
dengan seluruh personil 7G. Persahabatan yang sangat erat dari semua personil
7G adalah dengan Kang Handian. Bukan berarti dengan 6 anggota lainnya tidak
akrab, semua sangat akrab terlebih dengan kang Yudi yang kebetulan berasal dari
Tasikmalaya. Ada hal yang menarik dengan kang Yudi ini. Kakaknya Kang Yudi
adalah seniornya di PII (Pelajar Islam Indonesia). Uniknya lagi, istri kang
Yudi adalah teman sebangku istrinya saat SMA. Kebetulan keduanya bersekolah di
SMA 1 Tasikmalaya.
Sedangkan kang Dicky sering menjadi
referensi untuk pelajaran dan latihan-latihan soal-soal saat perkuliahan.
Adapun kang Dida, kang Wandi, kang Bahru, dan Kang Ozi (Fauzi), termasuk kang
Aris adalah teman belajar yang uniknya seringkali belajar pada mata kuliah yang
satu tingkat di bawah angkatan resmi Beliau sendiri….. bahkan dua tingkat di
bawah…..hehehe
Kembali pada kang Handian, beliau
menjadi sangat akrab karena dari seluruh anggota 7G yang aktif dalam pengajian
adalah kang Handian ini. Beliau seringkali mengaji bersama baik di Masjid Salman
ITB maupun di rumah kontrakan Jl Bagusrangin.
Alhamdulillah setelah puluhan tahun
berinteraksi, ternyata seluruh anggota 7G menjadi sangat relijius, bahkan beberapa
di antaranya seperti kang Dicky dan kang Aris mendalami ilmu agama secara
serius. Sebuah anugerah yang luar biasa dalam persahabatan Beliau, mengingat
fenomena seperti ini jarang ditemui dalam dunia yang kental dengan hedonism dan
pemujaan terhadap material.
Sejak SMA, aktif dalam organisasi
PII. Di PII inilah Doedoeng berkenalan dengan aktivis
putri Lia Sari Mulyati,
yang kelak menjadi ibu dari lima anak-anaknya. Pada tahun 1992 lahir anak pertama, Irfan. Berturut-turut
anak-anak yang kedua sampai kelima adalah Jihan, Faza, Farhan, dan yang paling
kecil Nadine. Saat wisuda Doedoeng adalah satu-satunya yang membawa anak saat wisuda.
Saat sudah bekerja, di PT. Behaestex
Gresik. Dari perkenalan dengan senior alumni ITB di Jawa Timur tersebut, pada
tahun 1997 Doedoeng mendapatkan kesempatan untuk ikut S2 di Studi Pembangunan
ITB kelas Jakarta. Doedoeng mendapat beasiswa dari PT. Petrokimia Gresik yang
saat itu Direktur Utamanya adalah Pak Rauf Purnama (alumnus Teknik Kimia ITB,
asli Garut).
Ada kisah unik saat mengikuti S2 ini,
yaitu ketika, tanpa terduga, Doedoeng sempat gemetar berhubungan kembali dengan
dosen “killer”waktu S1 yaitu Prof. Saswinadi Sasmojo. Bagaimana tidak gentar, ia
mengulang mata kuliah beliau yaitu Pengantar Analisis Sistem Teknik Kimia sampai tiga kali…!!!
Selama kuliah S2, dia juga bekerja
sebagai asisten manajer Program S2 Studi Pembangunan
ITB di Jakarta. Lulus dari S2 Studi Pembangunan ITB dengan predikat cum laude, Doedoeng mendapatkan kesempatan untuk mengikuti tes CPNS di Kementerian PU. Alhamdulillah lulus, dan pada tahun 2001 menjadi PNS. Sebuah profesi yang awalnya dibencinya, karena dalam benaknya ketika menjadi aktivis, PNS itu malas, korup, dan suka mempersulit keadaan.
ITB di Jakarta. Lulus dari S2 Studi Pembangunan ITB dengan predikat cum laude, Doedoeng mendapatkan kesempatan untuk mengikuti tes CPNS di Kementerian PU. Alhamdulillah lulus, dan pada tahun 2001 menjadi PNS. Sebuah profesi yang awalnya dibencinya, karena dalam benaknya ketika menjadi aktivis, PNS itu malas, korup, dan suka mempersulit keadaan.
Berkarir sebagai PNS dari bawah tidak
membuat idealismenya luntur. Semangat belajar juga tetap membara. Pada tahun
2007 mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program S3 di Universitas Negeri
Jakarta. Tiga tahun berikutnya, alhamdulillah berhasil menyelesaikan program S3
dengan predikat summa cum laude.
Sekarang mengemban amanah sebagai Kepala Pusat Pengembangan Kompetensi Jalan, Perumahan, dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah - Kementerian PUPR. Berkantor di Jl. Abdul Hamid, Cicaheum, Kec. Mandalajati, Kota Bandung, Jawa Barat 40195.
Saat kuliah S1, aktif di Menwa. Dunia
militer memang salah satu hobi yang senang bertualang di alam bebas. Hobi yang
juga mengantarkannya menjadi aktivis di pramuka. Di Menwa inilah banyak belajar
senjata api. Sejak itu ia juga menekuni hobi mengkoleksi dan berlatih senjata,
mulai dari senapan angin sampai senapan api.
Setelah lebih dari 20 tahun hidup
terpisah dengan keluarga. Sejak resepsi pernikahan tahun 1991, Beliau tinggal
di kota yang berbeda. Pada tahun 2013 akhirnya Beliau punya rumah dan tinggal bersama
di Jalan Peninggaran Barat, kawasan Tanah Kusir, Kebayoran Lama Utara, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, DKI Jakarta.
ass..
ReplyDeletenepangkeun abdi reza ti palihan ciamis putra rd.siti sulasmini (mimin) incu rd. abdul fatah panjalu
mugia mang dudung sukses teras, sehat salawasna aya dina lindungan alloh swt
slm kuli jalan tjiamiez
Wa'alaikum salam warohmatullohi wabarokatuh. Hatur nuhun Alo Reza tiasa tepang sok sanaos Dina Ramat loka blogspot. Salam baktos kanggo Ceu Mimin (saleresna mah uwa). Margi pun Bapa ka Aki Abdul teh pernahna Uwa.
ReplyDeleteMuhun .. sami2 htr nhun 🙏
ReplyDeleteUpami ka palihan pangandaran kabaran
Abdi ayeuna mah kaleresan di pangandaran om